Pencitraan Dalam Budaya Politik
Penulis: Suyatno Kahar
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
Makna budaya politik merupakan suatu keyakinan, atau sikap terhadap realitas politik yang ada pada suatu daerah/ bangsa atau negara. Almond dan Powel menyebut budaya politik adalah seperangkat sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan perasaan-perasaan tentang politik yang terjadi dalam sebuah negara pada suatu waktu tertentu (Budiarjo. 2017). Seperangkap sikap oleh seseorang, kelompak, partai politik menjadi suatu konsep yang universal, namun tentu bermakna tentang idealisme. Kepercayaan oleh partai politik juga merupakan suatu konsep yang bermakna idealisme. Perasaan tentang kondisi politik juga merupakan suatu idealisme. Semua itu tentang idealisme politik, hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil dan makmur. Partai politik menjadi suatu kunci untuk menentukan situasi politik yang dinamis dan konstruktif. Namun apabila partai politik tidak mengembankan hal tersebut maka konsepsi budaya politik hanya sebatas hayalan. Oleh karena itu, jika berharap terciptanya suatu budaya politik yang baik maka tentu membutuhkan keseriusan partai politik itu sendiri. Jika Partai politik menjadi pilar utama demokrasi maka para kader partai pun juga memiliki idealisme politik kontruktif. Sehingga bisa membawa parpolnya kearah yang demokratis/ sesuai dengan nilai- nilai politik alokatif.
Partai Politik Di Era Reformasi memiliki ciri khas yang berbeda-bedah, ada yang cenderung idealis, ada yang cenderung opportunis plus materialistis, ada yang cenderung konservatif, ada yang cenderung nasionalis, ada pun juga cenderung diplomatis. Hal tersebut dapat kita ketahui melalui proses-proses menentuan kebijakan di parlemen dan atau intervensi kebijakan kepada eksekutif. Namun itu merupakan dinamika politik nasional yang tidak lain dan tidak bukan adalah Realitas Demokrasi Indonesia.
Memang secara normatif perkembangan partai politik di indonesia pada era reformasi cukup baik, setiap partai politik yang baru maupun lama tetap memiliki gagasan-gagasan pembangunan dan kemajuan untuk indonesia. Dalam hal ini, penulis tidak menyebut satu-persatu namun penulis melihat realitas politik yang selalu menunjukan baik dan buruk oleh partai politik itu sendiri. Ada beberapa kategori Partai politik dalam realitas politik indonesia Di era reformasi hingga saat ini. Kategori pertama, partai yang selalu mempertahankan kekuasaannya dengan cara menerapkan strategi Opportunity, melihat dan membaca peluang atau ancaman kemudian menentukan arah politiknya tanpa memperhitungkan idealisme politik. Kategori kedua, partai yang selalu kritis, selalu menjadi kontrol pemerintah, selalu mengimbangi pemerintah, selalu menyuarakan hak-hak rakyat, mengutamakan kepentingan publik, selalu mengembangkan idealisme politiknya, namun kategori partai seperti ini selalu tidak bertahan lama atau tidak masuk dalam ambang batas parlemen. Kategori ketiga, partai yang selalu menunjukan dirinya sebagai partai oposisi, meskipun tidak selalu oposisi, selalu menyuarakan dan mengatasnamakan suara rakyat meskipun tidak selalu dari rakyat, dalam diplomasi politik partai ini bisa dibilang selalu jual, atau malu-malu kucing. Kategori keempat, partai yang selalu menerapkan kebiasaan politik materialistis, selalu mendahukan nilai-nilai kapitalisme, politik uang, semua itu tergantung pada mahar politik, tidak selalu mendahulukan kepentingan publik. Tipelogi partai ini sangat terlihat ketika momentum politik seperti Pilkada dan momentum politik yang lain. Dalam momentum pilkada, bagi tipelogi partai tersebut, tidak melihat figur yang bagus, tidak melihat figur yang memiliki elektabilitas yang tinggi namun yang dilihat adalah berapa mahar politik yang disediakan oleh bakal calon kapala daerah tersebut.
Selain dari beberapa kategori tersebut di atas, juga terdapat satu kategori yang tidak lain dan tidak bukan adalah politik pencitraan, di mana partai tersebut hanya menonjolkan citra politiknya. Semua yang dilakukan pasti ada Protap (Prosedur Tetap) Image, ada suatu skenario pertunjukan/ pameran kepada publik meskipun itu tidak ikhlas, pada protap image tersebut dengan tujuan bisa menarik simpati publik, menunjukan bahwa partainya telah berbuat untuk rakyat. Seiringan dengan perkembangan teknologi informasi yang cukup canggi seperti saat ini, eksistensi partai diukur oleh pertunjukan/ pameran kepada publik. semuanya dipublikasi melalui media baik melalui media massa, media sosial maupun new media. Ketika Erving Goffman menyebut sebagai Front stage (panggung depan), maka panggung depan aktor politik adalah media massa, media sosial maupun new media. Tanpa pertunjukan melalui panggung tersebut ibarat sayur tanpa garam, tidak terasa sempurna. Dari kinerja sesuai dengan fungsi partai politik hingga eksistensi dalam menyalurkan bantuan sosial pun dipamer, seorang anggota DPR yang melalukan Reses dengan menyalurkan bantuan kepada masyarakat pasti dipamerkan melalui panggung tersebut. Kini keadaan bangsa digoncang oleh musibah seperti saat ini (Kasus Covid-19), justru aktor politik dan atau parpol hanya diam menjadi penonton, menyaksikan Rakyat membutuhkan Alat Pelindung Diri (APD), Rapid Test dikenakan biaya, Bantuan Sosial (Bansos) tidak merata dan masalah lainnya. Oleh karena itu, kepada Partai Politik (Parpol), kepada aktor politik tunjukanlah eksistensimu sebagai pilar kemajuan dan pembangunan bangsa, jangan membangun citra di tengah-tengah Kemelut Bangsa.
Dengan semua itu, menurut penulis kini partai politik telah membudayakan sesuatu yang sangat salah, telah merubah esensi partai politik ke arah yang salah, seharusnya partai politik tetap menjaga dan menciptakan budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokratis. Menerapkan dan mengembangkan budaya politik sesuai dengan esensi pancasila. Partai politik juga bisa menjalankan fungsi partai politik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyebut fungsi partai politik, pertama, pendidikan politik. kedua, penciptaan iklim yang kondusif. ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. keempat. keempat, menciptakan partisipasi politik warga negara Indonesia. kelima, rekrutmen politik.*