Oleh:Kadarudin, Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Penetapan Tersangka Bagi Veronica Koman Hingga Penerbitan DPO
Veronica Koman yang dikenal publik sebagai Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kini telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), hal ini disebabkan karena tindakannya yang diduga aktif menyebarkan informasi bohong di media sosial (melalui akun pribadinya di Twitter) yang bernada provokasi, bahkania juga mencuit sejumlah seruan mobilisasi aksi untuk memenuhi jalan-jalan protokol di sejumlah wilayah di Papua, akibatnya Veronica Koman dijerat pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras danEtnis, sehingga ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur, yang karena ketidak hadirannya dalam undangan resmi kepolisian sehingga pihak kepolisian resmi menerbitkan surat DPO bernomor DPO/37/IX/RES.2.5./2019/DITRESKRIMSUS untuk Veronica Koman pada Jumat 20 September 2019.
Lombok Treaty
Agreement Between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation (Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerjasama Keamanan) atau yang lebih dikenal sebagai Lombok Treaty adalah perjanjian internasional (bilateral) yang ditandatangani di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (Indonesia) padatanggal 13 November 2006 dan telah diratifikasi oleh parlemen Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2007 yang disahkan pada tanggal 18 Desember 2007) dan parlemen Australia. Lombok Treaty mencakup kerja sama dalam bidang: (a) pertahanan; (b) penegakan hukum; (c) pemberantasan terorisme; (d) intelijen; (e) keamanan maritim; (f) keselamatan dan keamanan penerbangan; (g) proliferasisen jata pemusnah masal; (h) tanggap darurat; (i) pada organisasi multilateral mengenai keamanan; dan (j) peningkatan saling pengertian antar perseorangan dan antar masyarakat.
Latar belakang disepakatinya Lombok Treaty adalah karena “hubungan antara Indonesia dan Australia memiliki sejarah yang cukup panjang sejak zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia. Australia merupakan salah satu dari sejumlah negara di dunia yang pertama mengakui hak Indonesia untuk merdeka. Dalam perkembangannya, hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia mengalami pasang surut. Hal tersebut terjadi karena berbagai perbedaan yang ada di antara kedua negara, antara lain, perbedaan yang terkait dengan sistem politik, kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun, fakta geografis yang menunjukkan bahwa kedua negara merupakan negara bertetangga menjadi faktor yang mendorong perlunya kedua negara untuk berinteraksi secara kondusif guna menjaga stabilitas kawasan. Perjanjian ini mempunyai arti penting dalam mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia karena memuat sejumlah prinsip dasar pelaksanaan hubungan bilateral kedua negara. Hal ini juga akan menandai era baru dalam hubungan kedua negara sehingga berbagai permasalahan sensitif dan pelik di antara kedua negara dapat dihadapi dengan suatu landasan yang lebih kuat dan mempunyai tolak ukur yang jelas” (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2007).
Prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan hubungan bilateral kedua negara adalah: (a) kesetaraan dan saling menguntungkan; (b) saling menghargai dan mendukung kedaulatan, integritas wilayah, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik; (c) tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing; (d) tidak mendukung atau berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan, baik yang dilakukan oleh orang dan/atau lembaga, yang mengancam stabilitas, kedaulatan dan/atau integritas wilayah Pihak lain, termasuk menggunakan wilayahnya untuk melakukan kegiatan separatisme; (e) menyelesaikan sengketa secara damai; dan (f) tidak menggunakan ancaman atau menggunakan tindakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik Pihak lain.
Pasang Surut Hubungan Bilateral Indonesia – Australia
Indonesia dan Australia adalah negara di pasifik yang bertetangga namun banyak terjadi insiden bagi keduanya, yang terbaru adalah sikap antipasti yang ditunjukkan Pemerintah Australia sehingga memberikan ruang bagi Veronica Koman berbicara secara resmi dengan Parlemen Australia, bahkan dengan mudahnya menemui dan memberikan laporan kepada Sub-Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Australia pada Oktober 2019 untuk membicarakan situasi terkini di Papua dan agar Pemerintah Australia bisa bertindak lebih untuk menghentikan pertumpahan darah di Papua. Hal ini tentunya memberikan dapak psikologis negatif bagi Pemerintah Indonesia di dalam proses persiapannya menjalankan tugas sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Periode 2020-2022, sehingga membuat tensi panas bagi hubungan bilateral kedua negara. Bukan kali ini saja hubungan bilateral kedua negara tersebut terusik, 2 tahun sebelumnya (pada tahun 2017) Pemerintah Indonesia memutuskan sebagian kerjasama militer dengan Australia, hal ini merupakan respons terhadap laporan bahan pelatihan yang menjelek-jelekkanTentara Nasional Indonesia (TNI) serta tulisan yang isinya menghina Pancasila.
Pada Tahun 2013, hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia juga memanas akibat kasus penyadapan yang menurut Badan Intelejen Indonesia terjadi pada kurun waktu 2007 hingga 2009 dan baru terungkap pada tahun 2013. Indonesia kemudian memanggil pulang Duta Besar Nadjib Riphat dari Canberra. Tony Abbott selaku Perdana Menteri Australia saat itu juga menolak untuk meminta maaf.
Pada Tahun 2011, Australia juga pernah menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, karena adanya pemberitaan tentang praktik penyembelihan sapi di sejumlah rumah potong hewan di Indonesia yang memicu penghentian ekspor ternak hidup ke Indonesia. PadaAgustus 2010, Pemerintah Australia juga sempat bersitegang dengan Pemerintah Indonesia akibat diplomasi yang gagal membuahkan hasil terkait dengan kasus Schapelle Corby yang dihukum 20 tahun penjara karena di dalam tasnya terdapat 4.2 kilogram ganja saat tiba di Bandara Ngurah Rai pada 8 Oktober 2004.
Perlu dicatat bahwa pasang surut hubungan bilateral Indonesia – Australia yang disebutkan tersebut terjadi setelah Lombok Treaty ditandatangani dan diratifikasi oleh kedua negara.
Veronica Komandi Australia
Sebenarnya Veronica Koman tidaklah berada di Indonesia pada saat terjadinya insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, JawaTimur.Veronica Koman dikabarkan sedang berada di Australia pada saat insiden tersebut terjadi, namun yang menjadi masalah adalah cuitan Veronica Koman melalui akun pribadinya di Media Sosial Twitter yang bernada provokasi sehingga menyebabkan insiden yang berawal di asrama mahasiswa Papua di Surabaya semakin meluas hingga ke Papua. Hingga saat ini pihak kepolisian masih berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk memulangkan Veronica Komanke Indonesia untuk menjalani proses hukum yang menjeratnya.
Quo Vadis Lombok Treaty dan Prinsip-Prinsip Hukum Internasional?
Hingga saat ini memang kasus yang menjerat Veronica Koman masih menjadi polemik dikalangan aktivis HAM, pakar hukum, kepolisian Indonesia hingga Amnesti Intrenasional. Disatu sisi, tindakan Veronica Koman dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun disisi lain, tidak sedikit juga yang berpendapat apa yang dilakukan Veronica Koman di Australia adalah bentuk kerja sebagai pembela HAM serta bagian dari partisipasi masyarakat yang dijamin dalam Pasal 100, 101, 102, dan 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan penggunaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah tidak tepat, bahkan pencabutan paspor Veronica Koman dianggap sebagai penelantaran negara terhadap warga negaranya. Dari sisi manapun keduanya memiliki argumen yang kuat terkait kasus yang dihadapi oleh Veronica Koman, namun dari perspektif lain,penulis berpendapat jika kasus ini bisa diselesaikan dengan terang-benderang dan adil maka seharusnya Veronica Koman segera pulang ke Indonesia dan membuktikan kepada pihak kepolisian bahwa apa yang disangkakan oleh lembaganya adalah tidak tepat, karena lari dari dugaan tindak pidana adalah juga tidak tepat, karena akan semakin memperkeruh suasana bahkan argument-argumen liar akan semakin tidak dapat terelakkan, apalagi sebagai orang yang paham hukum ia dapat berargumen bahwa apa yang dilakukannya di Australia dijamin oleh Undang-Undang HAM, Pasal 16 Undang-Undang Advokat yang telah diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 88 Tahun 2012.
Menurut penulis, Australia juga harus menghormati kedaulatan hukum Indonesia, karena membiarkan terduga tindak pidana (yang bahkan telah DPO) juga tidak dibenarkan dalam hukum internasional dan dapat menjadi preseden buruk bagi hubungan bilateral kedua negara, apalagi jauh sebelumnya kedua negara telah bersepakat dan meratifikasi Lombok Treaty yang salah satu objek perjanjiannya adalah penegakan hukum, dan peningkatan saling pengertian antar perseorangan dan antar masyarakat, apalagi prinsip yang menjadi dasar disepakatinya Lombok Treaty adalah saling menghargai dan mendukung kedaulatan, integritas wilayah, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, tidak mendukung atau berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan, baik yang dilakukan oleh orang dan/atau lembaga, yang mengancam stabilitas, kedaulatan dan/atau integritas wilayah Pihak lain. Disisi lain, dalam hubungan bilateral kedua negara harus dilandasi dengan prinsip good feit dan sebagai negara yang secara geografis bertetangga di Kawasan pasifik, harusnya Australia menghormati Prinsip Good Neigh borhood sebagaimana yang terdapat dalam Declaration on the Right and Duties of States, prinsip ini menyatakan bahwa negara dilarang menggunakan wilayahnya yang dapat merugikan atau mengancam kepentingan negra lain. ***