ONE.id– Partai politik sejatinya dikelola secara modern sesuai visi missi dan Konstitusi partai. Begitu juga Partai Golkar yang memiliki sejarah panjang di republik ini. Partai Golkar adalah instrumen demokrasi yang dalam sistem politik kita dikenal dengan suprastruktur politik.
Sebagai suprastruktur politik, maka kerja organisasi harus profesional dan mengedepankan aspek kualitatif guna mencapai tujuan yang gemilang (kemenangan). Karena itu, partai harus mengartikulasi dinamika sosial masyarakat. Partai Golkar harus menjadi garda terdepan untuk menjemput dinamika sosial masyarakat dan menjadi modal dalam memainkan fungsi artikulasi politik di pemerintahan melalui parlemen kita.
Berpijak pada pengalaman kepemimpinan DPD Golkar Provinsi Maluku Utara saat ini dan 12 tahun sebelumnya, Golkar secara institusional dikelola secara totaliter dlm sistim oligarki, sehingga kekuasan bertumpuh pada sang ketua, dimensi demokrasi menjadi rapuh, pengurus semuanya seolah tak berdaya dalam menghadapai kekuasaan yang tercipta seperti dewa.
Seluruh generasi yang berpotensi cenderung dilibas dan tak diberikan kesempatan berkembang. Kepercayaan diletakkan pada dimensi keturunan atau hubungan sedarah dan selebihnya orang yang setiap waktu memberi pujian. Itulah yang dipertontonkan saat ini.
Perspektif :
kondisi terkini dan kedepan hendaknya semua pihak utamanya kader Golkar baik pusat maupun daerah mesti menyadari ini:
saat ini lambat laun Golkar Malut sudah diambang jurang kehancuran.
Golkar terkelola seperti warisan keluarga, lebih ekstrem lagi Golkar Malut dikelola seperti korporasi usaha dagang dengan segala hitungan profitabilitas diri dan keluarga. Praktik oligarki politik seolah menjadi keharusan dimana saat yang sama kecerdasan para kader dipaksa harus tunduk pada keputusan sang “raja”. Dan bila trdapat elemen yang kontra terhadap kebijakan, atau merasa skeptis terhadap keputusan maka dia harus menyiapkan diri untuk menjadi suporter di luar pagar area pertandingan. Mendapat kartu merah yang keluar dari otorita sang diktator.
Realitas Kepemimpinan Golkar Malut saat ini mnyerupai sebuah instrumentalitas antara wahyu yang datang dari persembunyian. Sang wayang pun wajib melaksanakan seluruh wahyu yang dikirim dari seberang. Tontonan makin menarik karena sang wayang yang, budek harus berpura-pura tampil seperti manusia sempurna. Alhasil yang keluar dari persemedian adalah produk totaliter, oligarki, dan wajib dilaksanakan oleh kaum buruh dan tani yang modalnya direnggut oleh sang maha dewa.
Demokrasi yang dijunjung tinggi oleh konstitusi partai menjadi lipstik dan tidak pantas dilaksanakan oleh wayang golek karena dia sendiri pun tidak mengerti apa itu demokrasi, karena memang dia tidak diajarkan alias tidak disiapkan untuk itu.
Sehingga yang terjadi adalah seolah-olah dan kerpura-puraan.
Pertanyaannya ; mampukah kita mengubah kearah yang baik?
Sederhana jawabannya. Bahwa ada satu kata yang menjadi pilar penting untuk melahirkan tatanan yang elegan, yakni: “SADAR”
Sadarkah kita terhadap kehancuran Partai Golkar Maluku Utara saat ini? Sadarkah dia atau mereka atas kecelakaan yang mereka ciptakan saat ini? Sadarkah pihak otorita pemilik saham mayoritas (DPP Golkar) atas kehancuran Golkar Malut saat ini.?
Pada pemilu 2014 Golkar harus menerima kenyataan hilangnya ketua DPRD
Haltim dan Ternate serta yang masih segar di memori kita, pada pemilu 2019 Golkar Malut menelan pil pahit dengan kehilangan lima ketua DPRD baik Provinsi, maupun kab/kota antara lain: Tikep, Halsel, Kepsul, Morotai dan kini hanya tinggal dua daerah saja dari 10 kab/kota.
Kenyataan inilah yang menggugah saya. Saya terpanggil untuk membenahi keadaan ini, sesuai tradisi politik di Golkar bahwa kekuasan adalah instrumen penting untuk membesarkan partai. Namun bila situasinya harus kembali mereka lanjutkan maka sesungguhnya mereka telah buta terhadap realitas terkini, dimana Golkar Malut sudah menjadi urutan kedua dari peta politik partai di daerah ini.
Segala upaya saya lakukan, baik di “langit” (Jakarta) dan di “bumi” ( daerah) serta membangun komunikasi dengan pemilik kedaulatan suara, namun bila hasilnya tidak sesuai harapan maka saya pun harus tahu diri (Sadar) bahwa tipikal saya mungkin tidak masuk dalam kategori selera mereka.
Bahwa jabatan Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku Utara tidak segala-galanya bagi saya. Tanpa jabatan itupun saya tetap eksis. Sejelek-jeleknya, saya adalah kepala daerah yang juga kader Golkar. Akan tetapi yang saya pikirkan adalah menyatukan kembali seluruh potensi Golkar yang kini tampak jelas tercabik-cabik.
Lagi pula potensi tantangan kedepan sungguh makin berat. Saya berharap semua tokoh Golkar untuk melepas interes pribadi dan kelompok agar meletakkan masa depan partai lebih utama. Jika pilihan bukan saya, maka masih banyak kader Golkar yang potensial, seperti Aliong Mus dan Frans Maneri yang keduanya adalah bupati dan ketua DPD Golkar kabupaten. Salam ta’zim untuk semua (**)