Taat Bayar Pajak, Ini Penjelsan Terkait Kewajiban Perpajakan di Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

TERNATE – Kewajiban perpajakan di Indonesia dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pajak pusat yang diatur melalui Undang-undang, seperti Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan, Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Bea Materai, dan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan, dan pajak daerah.

Dimana sesuai Undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, peraturan pemungutan pajak daerah ditetapkan oleh peraturan kepala daerah seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, namun dalam pelaksanaannya, kedua aturan ini tidak boleh saling bertentangan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ternate, Dewi Lestari saat ditemu sejumlah awak media di ruang kerjanya, di Kantor Pelayan Pajak Pratama Ternate, Jumat (13/9/2024) menegaskan bahwa, pihaknya bertanggung jawab untuk mengawasi kepatuhan setiap wajib pajak di wilayah kerjanya.

Misalnya, sebuah perusahaan katering yang bekerja sama dengan perusahaan besar di wilayah tertentu, atau di wilayah Maluku Utara wajib melaporkan kegiatannya ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ternate, berdasarkan wilayah kerja.

Hal ini dilakukan sesuai dengan aturan yang mewajibkan semua perusahaan, baik kecil maupun besar, untuk melapor dan membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

“Baik wajib pajak besar maupun kecil, kami akan mengawasi kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak yang berada dalam wilayah kerja kami, yaitu berdasarkan perusahaan yang terdaftar di kantor pajak,” uca Dewi.

Dia mengatakan, wajib pajak membayar pajak penghasilan sesuai pendapatan yang diperoleh Wajib Pajak, dan melakukan pembayaran pajak penghasilan tersebut ke kas negara.

Kata Dewi, penting untuk dipahami bahwa, pemerintah daerah tidak memiliki wewenang untuk menerapkan peraturan perpajakan di luar batasan yang telah diatur oleh undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Jika sebuah objek pajak sudah diatur oleh Undang-undang, maka peraturan daerah, termasuk peraturan bupati, tidak boleh membuat aturan yang bertentangan.

Misalnya, pajak penghasilan diatur secara jelas dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), yang menyatakan bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.

“Semua objek pajak tidak boleh dikenakan pajak dua kali. Jika Undang-undang telah mengatur, maka peraturan bupati tidak dapat mengubah atau menambah kewajiban pajak tersebut. Jika ada kesalahan dalam penerapan pajak, misalnya karena keliru memahami batasan pajak pusat dan daerah, maka akan dilakukan perbaikan peraturan melalui DPRD,” bebernya.

Sebagai contoh, restoran kecil akan dikenakan pajak restoran berdasarkan peraturan daerah yang berlaku, sedangkan untuk penghasilan atas restoran kecil tersebut akan menjadi obyek pajak penghasilan yang termasuk sebagai pajak pusat.

Pengawasan dan penerapan peraturan pajak ini dilakukan dengan ketat untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap Undang-undang yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal perpajakan harus tetap berjalan sesuai aturan yang berlaku, tanpa tumpang tindih atau pelanggaran kewenangan.

Sementara ketentuan pajak PPH pasal 23 jasa Usaha Katering telah diatur dalam peraturan Menteri keuangan No 141/PMK.03/2015. Pajak atas jasa catering PPh 23 ini dikenakan pada penerima imbalan/penghasilan dalam hal ini pelaku usaha katering atas penyediaan jasa kateringnya.

“Sedangkan subjek pajak pemotong pajak penghasilan pasal 23 atas penyediaan jasa catering adalah pemberi imbalan atau penghasilan atau pengguna jasa catering,” jelasnya.

Diakhir penjelsanya, Dewi menghimbau agar seluruh wajib pajak melaporkan dan menbayar pajak, hal ini telah diatur seseuai ketentyuan. “harapkan kita semua menaati ketentuan wajib pajak, karena kita bayar pajak untuk kita juga,” harapnya.(***)

banner 325x300